Kajian khusus untuk persoalan ini, barangkali lebih tepat untuk masyarakat tani yang tidak memiliki akses penuh kepada market pasar yang potensial, dan keluhan yang paling sering kami temui adalah untuk kalangan petani kelas teri kebawah, artinya mereka yang tidak memiliki akses marketing.
Contoh klasik untuk mode market gagal ini kami temukan di Kabupaten Dharmasraya, semenjak tahun 2013 ketika program cetak sawah sedang giat dilakukan, petani padi kebingungan hasil panen padinya tidak menambah sama sekali pendapatan ekonomi mereka, kecuali mereka yang bertanam padi tidak lagi mengeluarkan biaya untuk membeli beras, sedangkan untuk mereka yang tidak bertanam padi tetap saja harus membeli beras dari luar.
Karena itu program kegiatan yang tidak dikemas dengan market pemasaran ini, cenderung hanya euforia politik semata, hingga saat ini Kabupaten Dharmasraya masih memasok beras dari laur kabupaten, hal yang lucu sebenarnya, ketika pemerintah melalui dinas pertanian terkait menghabiskan dana milyaran rupiah untuk program cetak sawah, namun hasilnya masyarakatnya tetap memasok padi dari luar daerahnya, artinya mega proyek tersebut tidak menyentuh substansi pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat itu sendiri, terutama soal beras.
Kemudian ketika kita beralih ke aktifitas pertanian lainnya, misalnya dari usaha pertanian hortikultura, sayur-sayuran yang ditanam sama sekali tidak menjanjikan keuntungan yang signifikan, hal ini karena market sayuran tidak tertata dengan baik, misalkan bertanam tomat, ketika hasil panen petani melimpah mereka kebingungan kemana harus dijual, demikian juga untuk hasil tani hortikultura lainnya.
Contoh “market kebingungan” ini paling banyak kami temui di daerah pedalaman Dharmasraya, karena itu mereka perlu solusi yang efektif, bagaimana hasil petani sayur ini juga turut menambah income pendapatan keluarga.
Seperti yang pernah disampaikan Gorat, salah seorang petani padi sekaligus petani sayuran di Dharmasraya kepada tim kami, mega proyek irigasi pengairan dan cetak sawah tidak menjadikan Kabupaten Dharmasraya produsen beras, sampai saat ini Dharmasraya masih bertahan pada level konsumen beras, sesuatu yang ironis sebenarnya diantara mega proyek bendungan dan cetak sawah.
Karena itu dari beberapa diskusi yang kami lakukan dengan kelompok tani, membuahkan suatu kesimpulan, untuk persoalan market pertanian ini belum dipikirkan oleh ahli ekonomi Dharmasraya, mereka masih berkutat dalam kontek “Mega proyek”.
Lain halnya dengan perkebunan karet dan sawit, kabupaten Dharmasraya boleh disebut unggul dalam perkebunan ini, unggul maksud kami disini adalah unggul karena monopoli, karena harga komoditi tersebut sebenarnya juga tidak menguntungkan bagi petaninya, sebutlah karet, petani karet baru bisa bernafas lega ketika harga karet perkilonya Rp 7000, dibawah itu petani karet megap-megap, demikian juga halnya dengan sawit.
Harga komoditi sawit dan karet ditentukan oleh perusahaan yang memonopoli perkebunan di Kabupaten Dharmasaya.
Lalu solusi yang potensial untuk mengatasi persoalan market pertanian, khususnya petani hortikultura ini adalah, dengan mengolah hasil pertanian kedalam bentuk produk lain, melon misalnya, untuk petani yang bertanam melon bisa mengolah buah melon kedalam bentuk jus, ketika mereka tidak menemukan pasar yang menguntungkan.
(Ilustrasi : Pertanaman Melon di Kabupaten Dharmasraya) |
Solusi ini telah kami diskusikan dengan beberapa kelompok tani, dan untuk merealisasikannya masih diperlukan kerja nyata yang panjang, karena untuk mengolahnya juga membutuhkan teknologi kreatif rumah tangga, semoga perjalanan mengatasi solusi ini berjalan baik untuk petani Dharmasraya.